/*credits : http://trik-tips.blogspot.com */ #tabshori { float:left; width:100%; font-size:13px; border-bottom:1px solid #2763A5; /* Garis Bawah*/ line-height:normal; } #tabshori ul { margin:0; padding:10px 10px 0 50px; /*Posisi Menu*/ list-style:none; } #tabshori li { display:inline; margin:0; padding:0; } #tabshori a { float:left; background: url("http://kendhin.890m.com/menu/blackleft.gif") no-repeat left top; margin:0; padding:0 0 0 4px; text-decoration:none; } #tabshori a span { float:left; display:block; background: url("http://kendhin.890m.com/menu/blackright.gif") no-repeat right top; padding:5px 14px 4px 4px; color:#fff; } /* Commented Backslash Hack hides rule from IE5-Mac \*/ #tabshori a span {float:none;} /* End IE5-Mac hack */ #tabshori a:hover { background-position:0% -42px; } #tabshori a:hover span { background-position:100% -42px; }

TUNA GRAHITA

a. konsep dasar dan definisi

Istilah gangguan perkembangan kecerdasan/kognisi (intellectual disability) atau dalam perkembangan sekarang lebih dikenal dengan istilah developmental disability atau dalam bahasa Indonesia dekenal dengan istilah Tunagrahita, , sering keliru dipahami oleh masyarakat, bahkan para professional dalam bidang pendidikan luar biasa pun sering keliru dalam memahami konsep tunagrahita. Perilaku tunagrahita yang kadang-kadang aneh, tidak lazim dan tidak cocok dengan situasi lingkungan sering kali menjadi bahan tertawaan dan olok-olok orang yang berada didekat mereka. Keanehan tingkah laku tunagrahita dianggap oleh masyarakat sebagai orang sakit jiwa atau orang gila.
Tunagrahita sesungguhnya bukan orang gila, perilaku aneh dan tidak lazim itu sebetulnya merupakan menifestasi dari kesulitan mereka di dalam menilai situasi akibat dari rendahnya tingkat kecerdasan. Dalam pengertian lain terdapat kesenjanngan yang signifikan antara kemampuan berfikir (mental age) dengan perkembangan usia (kronological age). Sebagai contoh; anak tunagrahita yang memiliki usia 18 tahun menunjukkan tingkah laku seperti anak yang memiliki usia 8 tahun. Oleh karena itu dapat dilihat dengan jelas beda antara tunagrahita dengan gila. Tunagrahita berkaitan erat dengan masalah perkembangan kemampuan kecerdasan yang rendah dan merupakan kondisi, sedangkan orang gila berkaitan dengan disintegrasi kepribadian dan merupakan penyakit. Untuk menghindari kesalahan di dalam memahami tunagrahita, perlu dirumuskan definisi yang jelas dan akurat, sehingga dapat memberikan gambaran obyektif tentang siapa sesungguhnya mereka yang tergolong tunagrahita.
Secara historis terdapat lima basis yang dapat dijadikan pijakan konseptual dalam memahami tunagrahita (Herbart J. Prehm dalam Philip L Browning, 1974) yaitu; 1) Tunagrahita merupakan kondisi, 2) Kondisi tersebut ditandai oleh adanya kemampuan mental jauh di bawah rata-rata , 3) Memiliki hambatan dalam penyesuaian diri secara sosial, 4) Berkaitan dengan adanya kerusakan organik pada susunan syaraf pusat, dan 5) tunagrahita tidak dapat disembuhkan.
Berdasarkan lima kriteria tersebut AAMD ( American Association on Mental Defeciency) merumuskan difinisi tunagrahita sebagai berikut:
Mental retardition refers to significantly subaverege general intellectual fuctioning exsisting concurrently with deficits in adaptive, and manifested during development period (Grossman dalam Robert Inggalls 1987 )
Definisi tersebut menekankan bahwa tunagrahita merupakan kondisi yang komplek, menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah dan mengalami hambatan dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikatagorikan sebagai tunagrahita apabila tidak memiliki dua hal tersebut yaitu, perkembangan intelektual yang rendah dan kesulitan dalam perilaku adaptif. Dalam pengertian lain seseorang baru dapat dikatagorikan tunagrahita apabila kedua syarat tadi dipenuhi.
Istilah perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu, dan bersifat kondisi sesuai dengan tahap perkembangannya. Hambatan dalam perilaku adaptif pada tunagrahita dapat dilihat dalam tujuh area yaitu; 1) terhambat dalam perkembangan keterampilan sensorimotor, 2) terhambat
dalam keterampilan komunikasi, 3)terhambat dalam keterampilan menolong diri, 4) terhambat dalam sosialisasi, 5) terhambat dalam mengaplikasikan keteram-
pilan akademik dalam kehi dupan seharai-hari, 6) terhambat dalam menilai situasi lingkungan secara tepat dan 7) terhambat dalam menilai keterampilan sosial. Aspek 1 sampai dengan 4 dapat diobservasi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, sementara aspek 5 sampai dengan 7 dapat diobservasi pada masa remaja.
Dalam perkembangan mutahir anak tunagrahita dikelompokkan ke dalam istilah developmental Disability (Mary Beimer/Smith, Richard F. Ittenbar & James R. Patton; 2002) Dalam istilah Developmental Disability mengandung makna sebagai berikut:
Ditandai oleh adanya gangguan mental (kognitif) atau fisik atau kombinasi dari mental dan fisik.
Gangguan tersebut terjadi sebelum usia 22 tahun
Memiliki keterbatasan dalam tiga atau lebih pada aspek berikut: a) menolong diri, b) bahasa reseptif dan ekspresif, c) belajar, d) mobilitas, d) mengarah-kan diri sendiri, f) kapasitas untuk hidup mandiri dan g) secara ekonomi memiliki keterbatasan dalam memperoleh penghasilan.
Membutuhkan treatment atau layanan pendidikan yang sistimatis dan layanan Multidisiplin, sepanjang hidupnya atau sekurang-kurangnya memer-lukan waktu yang panjang. Layanan pendidikan bagi anak yang develomental disa-
ability (tunagrahita) harus dirancang secara individual.


b. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh AAMD, anak tuagarhita dapat diklasifikasikan menurut tingkat kemampuan kecerdasan dan dapat dilihat pula berdasarkan kemampuan perilaku adaptif.
Berdasarkan kemampuan kecerdasan, seseorang anak dikatagorikan sebagai tunagrahita apabila kemampuan kecerdasannya menyimpang 2-3 standar deviasi dari kemampuan kecerdasan rata-rata. Jika kita menggunakan ukuran kemam-puan kecerdasan dari Stanford-Binet, dengan standar deviasi 16, maka anak yang memiliki IQ antara 68-54 ke bawah akan dikatagorikan sebagai anak tunagrahita. Sementara itu jika kita menggunakan ukuran kemampuan kecerdasan dari David Wechler dengan deviasi standar 15, maka anak yang memiliki IQ antara 69-56 ke bawah termasuk dalam katagori anak tunagrahita (Robert Inggalls,1987, Philip L. Browing & Rick Herber, 1974).
Patokan standar deviasi di atas selanjutnya digunakan oleh AAMD dalam mengembangkan system pengelompokkan anak tunagrahita berdasarkan tingkat perkembangan fungsi intelektual, yang selanjutnya disebut Intelligence Quotient (IQ). Individu yang memiliki IQ antara 2-3 standar deviasi di bawah rata-rata, dikatagorikan sebagai anak tunagrahita ringan. Individu yang memiliki IQ antara 3-4 standar deviasi di bawah rata-rata dikatagorikan sebagai anak tunagrahita sedang. Individu yang memiliki IQ antara 4-6 standar deviasi di bawah rata-rata dikatagorikan sebagai anak tunagrahita berat, dan individu yang mempunyai IQ lebih dari 6 standar deviasi dikatagorikan sebagai anak tunagrahita sangat berat. Tabel 1-1 menjelaskan lebih rinci tentang klasifikasi anak tunagrahita ber- dasarkan skor IQ baik dari tes Stanford-Binet maupun dari David Wechsler

Klasifikasi ringan (mild), sedang (moderate) , berat (severe) dan sangat berat (profound) merupakan istilah yang sering digunakan American Association on Mental Deficiency (AAMD). Dalam klasifikasi pendidikan (educators classify) dikenal dengan istilah mampu didik (educable) untuk katagori ringan, mampu latih (trainable) untuk katagori sedang, dan mampu rawat (severely and profoundly ) untuk katagori berat dan sangat berat Di Indonedia Istilah-istilah tadi pernah populer, tetapi sekarang sudah banyak ditinggalkan. Sebab dengan istilah itu intervensi pendidikan menjadi sempit dan tidak bermakna Disamping itu pengelompokkan seperti yang disebut terakhir tidak sejalan dengan falsafah pendidikan inklusif. Oleh karena itu pengelompokkan yang dipergunakan tetap mengacu seperti yang dikembangkan oleh AAMD, yaitu ringan (mild), sedang (moderete), berat (severe) dan sangat berat (profound).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku adaptif dengan inteligensi. Semakin tinggi perkembangan fungsi intelektual seseorang anak, makin tinggi pula kemampuan perilaku adaptifnya.
Dalam hal anak tunagrahita , hampir semua populasi dari anak tunagrahita menunjukkan hubungan yang positif antara perkembangan fungsi intelektual dengan perilaku adaptif. Semakin ringan tingkat ketunagrahitaan seseorang, ringan pula gangguan perilaku adaptifnya, semakin berat tingkat ketunagra hitaan, semakin berat pula gangguan perilaku adaptifnya.
Dari penjelasan di atas nampak bahwa seseorang dikatakan tunagrahita apabila fungsi intelektual dan perilaku adaptif terjadi pada mereka, sementara mereka yang tidak mengalami ganguan fungsi intelektual dan tidak disertai dengan fungsi perilaku adaptif atau sebaliknya mereka mengalami gangguan perilaku adaptif, tetapi tidak disertai gangguan fungsi intelektual tidak termasuk dalam katagori tunagrahita.




0 komentar:

Posting Komentar